Senin, 20 Juni 2016

Belajar dan mengajar beladiri, nowdays

Tergugah nulis blog lagi, gara2 beberapa teman share tulisan di blog ini, saya punya pandangan yang agak berbeda.
Kebetulan saya belajar beladiri yang sama dengan penulis di blog itu (dan juga kota yang sama), cuma saya mulai belajar saat anak2 (tahun 1991 saya mulai belajar, sampai 1997, setelah itu vakum sampai aktif lagi 2012 kemarin).
Secara garis besar, jaman dulu kami serupa dalam belajar beladirinya. Panggilan "sayang" berupa sensus kebun binatang, latihan monoton yang keras, sampai indoktrinasi kalo beladiri kita itu über alles, semua mirip (kecuali "sentuhan fisik" soalnya saya masih junior, hehehehe...)
1997, saat kelas 2 smp, saya pindah ke kota pelajar. Disini saya sempat mengalami gegar budaya, dimana latihan disini 3x lebih keras (indeed, apakah karena apes masuk dojo untuk tc, atau emang sehari2 seperti itu saya ga tau), sehingga saya masuk ke tahap untuk muak berlatih lagi.
Walaupun sampai pada tahap muak, tapi dalam hati saya masih cinta dengan beladiri saya ini (true). Saya masih buka-buka diktat lama, nonton latihan (nonton doang, mesti ga jarang Mas Adri nyuruh ikut dan ganti Dogi), dan ketika pertama kali kenal internet, dimana anak lain pada sibuk cari bokep atau animr, saya malah cari2 artikel tentang beladiri saya ini... Wakakakakaka lucu dah.
Di era 1997-2012, saya melihat beladiri saya dari luar. Segala referensi saya lahap, kontroversi2 saya baca. Hasilnya pemahaman saya menjadi berubah dari pemahaman teman2 saya sesama praktisi beladiri tersebut secara mainstream.
Selain itu, saya sesekali main ke beberapa dojo untuk sekedar melihat atau bahkan ikut latihan. Pasang surut anggota saya lihat. Dari yang latihan 40orang sampai tinggal 4 orang, lalu naik lagi sampai 20 orang/latihan (belum bisa mengalahkan era tahun <2000 tentang jumlah peserta latihan rata2).
Selain itu, saya juga melihat penurunan kualitas penguasaan, apalagi pemahaman teknik. Seorang sabuk biru gerakannya sangat kacau, mirip sabuk putih, dan banyak lagi (di era setelah 2012 saya jumpa masih banyak yang seperti itu, bahkan lebih parah).
Akhirnya, pada 2011 saya bertemu teman2 satu aliran dalam kunjungan nonton SEA Games di Jakarta (termasuk penulis blog yang saya link di atas itu), sayapun terpanggil untuk aktif lagi. Saya kembali masuk ke dalam dan melihat dari dalam.
Ternyata teknik mengajar, tidak banyak berubah dari masa saya aktif dulu pada masa 1997 ke belakang.
Sempai mengajarkan teknik seperti sempainya dulu mengajarinya. Tidak jarang, si sempai tersebut tidak bisa menjawab pertanyaan berkaitan dengan teknik tersebut yang diberikan oleh kohainya.
Selain itu, satu teknik bisa berbeda2 cara eksekusinya, tergantung dulu gimana sang sempai diajari sempainya dulu. Dan, terkadang banyak yang memaksakan bahwa "my way is the only way", selain itu salah.
Metode pelajaran ini mirip seperti fotokopi. Materi difotokopi, lalu fotokopian tersebut diajarkan ke bawah, fotokopian materi tersebut kembali difotokopi untuk diteruskan ke bawah, begitu seterusnya. Tidak jarang, materi yang disampaikan sekarang itu bisa sangat kabur/tidak jelas karena proses fotokopi berulang tersebut.
Terus gimana?
Perlu diakui, SDM Pelatih sepertinya saat ini kualitasnya tidak sebaik dulu. Kita bicara secara umum, bahkan guru pun tidak sebaik dulu kualitasnya dalam mengajar. Saya dulu kelas 2 sd sudah apal perkalian satu digit, perkalian susun, pembagian susun sederhana. Tapi ketika saya nemenin ponakan kelas 2 sd belajar, konsep dasar aritmetikanya saja belum nyantol.... Yak, separah itu....
Konsep dasar... Ya... Konsep dasar
Masa sekarang, ga perlu kita menghapalkan materi pelajaran. Semua sudah tersedia di Internet. Dulu kita dipaksa menghapalkan bahwa Tunki Ariwibowo adalah Mentri Muda Perindustrian, Joop Ave adalah Menparpostel, Murdiyono adalah Mensesneg, hapal Eka Prasetya Pancakarsa, Butir2 Pancasila, dan banyak lagi. Anak2 sekarang (bahkan orang tua) banyak yang tidak tahu siapa Lukman Hakim Syarifudin, Heroe Soelistyawan, dan nama2 pejabat pemerintahan lainnya.
Era sudah berbeda...
Dulu pengajaran dalam metode 5w1h, lebih mengutamakan Who, What, Where, When. Sementara sekarang Why dan How lebih menarik (karena memang  terkadang hal ini tidak tercover dalam materi konvensional). Seperti materi sejarah Perang kemerdekaan, Why dan How selalu dari sudut pandang RI, sementara sudut pandang Belanda diabaikan.
Bagaimana dengan beladiri? Ternyata sama saja!
Why dan how terkadang diabaikan... Tunggu, kenapa how malah diabaikan, sementara kita belajar teknik beladiri?? Nah, ini adalah konsep dasar tadi itu.
Kalau belajar cara fotokopi, konsep dasar ini sering miss, dulu diajarkan "begini" nah, kenapa sampai bisa "begini" ini tidak tersurat. Kenapa kaki melangkah ke depan? Kenapa pakai kuda2 ini, kenapa posisi tangan begini? Terkadang tidak bisa dijelaskan ini adalah "why".
How malah lebih parah lagi, gimana cara eksekusi teknik ini kalau lawan xxx, gimana cara eksekusi teknik ini kalau lawan yyy. Kalau cuma bisa satu kondisi, tentu ketika ketemu kondisi lain kita akan kebingungan.
Satu teknik dasar, kalau dikulik cukup dalam, bisa makan waktu yang lama. Nah sebagai pelatih, kita harus bisa menangkap konsep dasar tersebut, lalu mengembangkannya dalam koridor yang sudah ditentukan, lalu kita share kepada kohai/murid kita.
Perdalam materi, ikutlah latihan di tempat lain, hadiri gathering/gashuku/seminar beladiri. Kembangkanlah materi yang ada. Kita sebagai pelatih, tentu bisa menyerap materi lebih baik daripada orang awam buka youtube. Jangan sampai murid/kohai kita lebih menguasai materi hanya dengan bermodalkan video youtube #gengsidong hehehe...
Intinya adalah, jaman sudah berubah, kita harus bisa menyesuaikan diri dengan jaman kalau tidak mau dilindas olehnya